Buku Harian Ayah
Ayah dan ibu telah menikah lebih dari 30 tahun, saya sama sekali tidak pernah melihat mereka bertengkar.
Di
dalam hati saya, perkawinan ayah dan ibu ini selalu menjadi teladan
bagi saya, juga selalu berusaha keras agar diri saya bisa menjadi
seorang pria yang baik, seorang suami yang baik seperti ayah saya.
Namun
harapan tinggallah harapan, sementara penerapannya sangatlah sulit. Tak
lama setelah menikah, saya dan istri mulai sering bertengkar hanya
akibat hal-hal kecil dalam rumah tangga.
Malam minggu pulang ke kampung halaman, saya tidak kuasa menahan diri hingga menuturkan segala keluhan tersebut pada ayah.
Tanpa mengeluarkan sepatah kata pun ayah mendengarkan segala keluhan saya, dan setelah beliau berdiri dan masuk ke dalam rumah.
Tak lama kemudian, ayah mengusung keluar belasan buku catatan dan ditumpuknya begitu saja di hadapan saya.
Sebagian besar buku tersebut halamannya telah menguning, kelihatannya buku? buku tersebut telah disimpan selama puluhan tahun.
Ayah
saya tidak banyak mengenyam pendidikan, apa bisa beliau menulis buku
harian? Dengan penuh rasa ingin tahu saya mengambil salah satu dari
buku-buku itu.
Tulisannya memang adalah tulisan tangan ayah,
agak miring dan sangat aneh sekali, ada yang sangat jelas, ada juga yang
semrawut, bahkan ada yang tulisannya sampai menembus beberapa halaman
kertas.
Saya segera tertarik dengan hal tersebut, mulailah saya baca dengan saksama halaman demi halaman isi buku itu.
Semuanya
merupakan catatan hal-hal sepele, "Suhu udara mulai berubah menjadi
dingin, ia sudah mulai merajut baju wol untuk saya." "Anak-anak terlalu
berisik, untung ada dia."
Sedikit demi sedikit tercatat, semua
itu adalah catatan mengenai berbagai macam kebaikan dan cinta ibu kepada
ayah, mengenai cinta ibu terhadap anak-anak dan terhadap keluarga ini.
Dalam sekejap saya sudah membaca habis beberapa buku, arus hangat mengalir di dalam hati saya, mata saya berlinang air mata.
Saya mengangkat kepala, dengan penuh rasa haru saya berkata pada ayah "Ayah, saya sangat mengagumi ayah dan ibu."
Ayah menggelengkan kepalanya dan berkata, "Tidak perlu kagum, kamu juga bisa."
Ayah
berkata lagi, "Menjadi suami istri selama puluhan tahun lamanya, tidak
mungkin sama sekali tidak terjadi pertengkaran dan benturan? Intinya
adalah harus bisa belajar untuk saling pengertian dan toleran.
"Setiap
orang memiliki masa emosional, ibumu terkadang kalau sedang kesal, juga
suka mencari gara-gara, melampiaskan kemarahannya pada ayah, mengomel.
Waktu
itu ayah bersembunyi di depan rumah, di dalam buku catatan ayah
tuliskan segala hal yang telah ibumu lakukan demi rumah tangga ini.
Sering
kali dalam hati ayah penuh dengan amarah waktu menulis kertasnya dan
sampai sobek akibat tembus oleh pena. Tapi ayah masih saja terus menulis
satu demi satu kebaikannya, ayah renungkan bolak balik dan akhirnya
emosinya juga tidak ada lagi, yang tinggal semuanya adalah kebaikan dari
ibumu."
Dengan terpesona saya mendengarkannya. Lalu saya bertanya pada ayah, "Ayah, apakah ibuku pernah melihat catatan-catatan ini?"
Ayah
hanya tertawa dan berkata, "Ibumu juga memiliki buku catatan. Dalam
buku catatannya itu semua isinya adalah tentang kebaikan diriku.
Kadang kala di malam hari, menjelang tidur, kami saling bertukar buku catatan, dan saling menertawakan pihak lain. ha. ha. ha."
Memandang
wajah ayah yang dipenuhi senyuman dan setumpuk buku catatan yang berada
di atas meja, tiba-tiba saya sadar akan rahasia dari suatu pernikahan:
"Cinta itu sebenarnya sangat sederhana, ingat dan catat kebaikan dari orang
lain. Lupakan segala kesalahan dari pihak lain."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar